KOMPUTER ONLINE

Kumpulan Artikel-Artikel

Rabu, 22 April 2009

Langkah-Langkah Mengatasi Keluhan Muskuloskeletal

Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen.

Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja tidak alamiah.
1. Rekayasa teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut :
- Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
- Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengasn alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan.
- Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja, sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dsb.
- Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi resiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.
2. Rekayasa manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut :
- Pendidikan dan pelatihan
- Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang
- Pengawasan yang intensif


Sumber : (kriteria dan organisasi kerja) (Grandjean, 1993; Anis dan McConville, 1996; Waters & Andesron, 1996; Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000).

Faktor Terjadinya Muskuloskletal

Menurut Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skletal.
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion)
pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat.
2. Aktivitas Berulang
Aktivitas Berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus, akibatnya otot menerima tekanan tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap kerja tidak ergonomi
Sikap kerja tidak ergonomi adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya kelihan otot skeletal. Sikap kerja tidak ergonomi ini pada umumnya karena karakteristik tuntunan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993;Anis & McCnville, 1996; Waters & Anderson, 1996 & Manuaba, 2000).
4. Faktor Penyebab Sekunder
- Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.
- Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982).
- Mikrolimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot (Astrand & Rodhl, 1997; Pulat, 1992; Wilson & Corlett, 1992). Demikian juga paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993).
5. Penyebab kombinasi
- Umur
Menurut Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25 - 65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga resiko terjadinya keluhan otot meningkat.
- Jenis Kelamin
Beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria.
Hasil penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1 : 3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas.
- Kebiasaan Merokok
Beberapa penelitian membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok.
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-pari, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Aapbila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
- Kesegaran Jasmani
Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady et al. (1979) menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka resiko terjadinya keluhan adalah 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.
- Ukuran tubuh (antropometri)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skletal

Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksdi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.

Dari hasil penelitian pada 1505 tenaga kerja wanita di rumah sakit di Paris tahun 1986, Penyebab utama cuti sakit :
a. Gangguan muskuloskeletal (16%) dimana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri didaerah tulang punggung dan pinggang.
b. Karakteristik kondisi kerja di rumah sakit yang menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah :
- berdiri lebih dari 6 jam
- membungkuk lebih dari 10 kali/jam
- melakukan beberapa sikap paksa.

Sumber : Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993 ; Depkes, 1996

Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yg biasanya diistilahkan dengan Keluhan muskuloskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem Muskulosketal.

Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu :
1. Keluhan sementara(reversible),yaitu keluhan otot yg terjadi pd saat otot menerima beban statis namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.

Tahun 1984, OSHA (Occupational Safety and Health Administration) Amerika Serikat menyatakan bahwa, prinsip-prinsip ergonomi sangat penting untuk mencegah terjadinya Cummulative Trauma Disoders (CTDs).

Cummulative Trauma Disoders (CTDs) bukanlah diagnosis klinis, melainkan rasa nyeri karena kumpulan cedera pada sistim muskuloskeletal extremitas atas akibat gerakan kerja biomekanika berulang-ulang melampaui kapasitas. Pemerintah AS mendefinisikan CTDs sebagai rasa nyeri pada sistim muskuloskeletal extremitas atas yang diyakini berhubungan dengan kegiatan kerja. Cedera dapat mengenai otot, tendon, ligamen, saraf, pembuluh darah di leher, bahu, lengan, siku, pergelangan dan jari tangan. Cedera berupa radang dan rasa nyeri, sehingga mengurangi kemampuan gerak disertai kelainan khas bagian extremitas atas tersebut.

Studi tentang muskuloskeletal disorders (MSDs) pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skletal) yang meliputi otot leher (neck muscle), bahu (shoulder), lengan (arm), tangan (hand), jari (finger), punggung (back), pinggang (waist) dan otot-otot bagian bawah (undercarriage muscle). Diantara keluhan otot skletal tersebut, yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah otot bagian pinggang (low back pain=LBP).

Laporan dari the Bureu of labour Statistics (LBS) Departemen Tenaga kerja Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 1983 menunjukan bahwa hampir 20% dari semua kasus sakit akibat kerja dan 25% biaya kompensasi yang dikeluarkan sehubungan dengan adanya keluhan/sakit pinggang. Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH menunjukan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dolar setiap tahun. Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk keluhan/sakit akibat kerja lainnya. (NIOSH, 1996). Sementara itu National Safety Council melaporkan bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah sakit punggung, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus

Sikap / Cara Perawat Pada Pasien

Bentuk pekerjaan yang spesifik di sarana kesehatan adalah mengangkat dan memindahkan pasien, pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh pekerja wanita yang sering harus mengangkat pasien yang kadang-kadang mempunyai berat yang lebih berat dari badannya sendiri (Depkes RI, 1990).

Di Rumah Sakit banyak pekerjaan angkat-mengangkat pasien yang tidak dapat diremehkan. Cidera yang disebabkan oleh cara mengangkat dan menggotong pasien yang salah telah mengakibatkan banyak absen sakit dikalangan perawat dan tenaga kesehatan lainnya (Kuswadji, 1996).

Cidera pada penggotong terjadi akibat berbagai hal yang belum jelas benar, namun menurut Kuswadji (1996) beberapa hal berikut merupakan faktor yang menyebabkan perawat tidak melakukan tindakan keselamatan :
a. Beban terlalu berat
b. Beban terlalu berat serta terjadi ketidakseimbangan dalam jangka lama
c. Berdiri terlalu jauh dari beban
d. Kesukaran mencapai pasien sehingga posisi penggotong terhambat
e. Pakaian penggotong terlalu ketat sehingga pergerakan paha terhambat baik oleh celana atau gerakan tidak bebas.
Metode kinetik dari pedoman penanganan harus dipakai yang didasarkan pada dua prinsip :
a. Otot lengan lebih banyak digunakan dari pada otot punggung
b. Untuk memulai gerakan horizontal maka digunakan momentum berat badan.


Metoda ini termasuk 5 faktor dasar :
- Posisi kaki yang benar
- Punggung kuat dan kekar
- Posisi lengan dekat dengan tubuh
- Mengangkat dengan benar
- Menggunakan berat badan (www.depkes.go.id).

Sedangkan, menurut Suma’mur (1992) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan mengangkat dan mengangkut, yaitu :
a. Beban yang diperkenankan, jarak angkut dan intensitas pembebanan.
b. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan medan yang licin, kasar, naik turun dan lain-lain
c. Keterampilan kerja
d. Peralatan bekerja beserta keamanannya

Teori (brief survey) posisi yang benar pada saat mengangkat pasien adalah sebagai berikut :
1. Gerakan siku tidak dilakukan secara menyeluruh secara menyeluruh dari posisi lurus sampai dengan membentuk sudut 450.
2. Tangan tidak berada pada belakang tubuh dalam waktu yang cukup lama pada saat mulai atau sedang mengangkat pasien.
3. Posisi bahu lurus tidak terlalu mencondong ke depan.
4. Tidak berdiri dengan satu kaki dalam waktu yang lama.
5. Posisi kaki tidak ditekuk sehingga memerlukan tenaga yang cukup besar pada bagian kaki dan paha.
6. Posisi punggung dalam keadaan lurus tidak membungkuk dan membelok.
(Applied ErgonomicsTraining Manual, 1995).

Menurut Kuswadji (1996) menahan punggung merupakan bagian utama untuk memelihara posisi yang benar pada saat mengangkat sesuatu. Ada dua hal penting pada saat mempertahankan punggung ini :
a. Menahan punggung bawah dilakukan dengan suatu gerakan yang disebut dengan penahanan perut secara dinamis, dimana perut bawah dikontraksikan dengan mengangkat kearah atas dan menuju sisi pinggang. Perut bagian bawah menjadi lebih datar namun pinggang menjadi lebih besar ke samping. Bila dilakukan secara benar gerakan ini tidak akan mengganggu pernafasan normal dan tidak akan menaikan tekanan darah dan denyut nadi. Tindakan ini mirip dengan pemasangan korset.
b. Menahan bagian lain dari tubuh yang terkait dengan penggotongan termasuk mengencangkan bagian tubuh anda dan pasien. Menahan tubuh penggotong bisa dicapai dengan jalan sedikit mengangkat kepala penggotong dan menunjangkan punggung penggotong seperti yang dilakukan untuk penahan perut secara dinamis.

Menurut Suma’mur (1992), cara-cara mengangkat dan mengangkut yang baik harus memenuhi dua prinsip kinetis, yaitu :
a. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan
b. Momentum gerak badan dimanfaatkan untuk mengawali gerakan untuk menerapkan kedua prinsip kinetis itu setiap kegiatan mengangkat dan mengangkut harus dilakukan sebagai berikut :
- Pegangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut dihindarkan.
- Lengan harus berada sedekat-dekatnya pada badan dan dalam posisi lurus. Fleksi pada lengan untuk mengangkut dan mengangkat menyebabkan ketegangan otot statis yang melelahkan.
- Punggung harus diluruskan.
- Dagu ditarik segera setelah kepala bisa ditegakkan lagi seperti pada permulaan gerakan. Dengan posisi kepala dan dagu yang tepat, seluruh tulang belakang diluruskan.
- Posisi kaki dibuat sedemikian rupa sehingga mampu untuk mengimbangi momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat. Satu kaki ditempatkan kearah jurusan gerak yang dituju. Kaki kedua ditempatkan sedemikian rupa sehingga membantu mendorong tubuh pada gerakan pertama.
- Berat badan dimanfaatkan untuk menarik dan mendorong serta gaya untuk gerakan perimbangan.
- Beban diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikal yang melalui pusat gravitasi tubuh.

Selanjutnya dikatakan oleh Kuswadji (1996) bahwa dalam proses mengangkat dan menggotong pasien yang baik harus ada seorang komando yang bertugas. Peran komando ini bertujuan agar setiap orang yang melakukan penggotongan pasien mempunyai persepsi yang sama dalam kesiapan mengangkat dan menggotong pasien sehingga teknik mengangkat dan menggotong dapat dilakukan benar.

Teori (brief survey) posisi yang benar pada saat mendorong tempat tidur adalah sebagai berikut :
1. Genggaman tangan tidak terlalu keras pada saat memegang tempat tidur
2. Gerakan siku tidak secara menyeluruh
3. Tangan tidak berada pada belakang tubuh dalam waktu yang cukup lama pada saat mulai atau sedang mendorong tempat tidur
4. Pada bahu tidak terlalu mencondong ke depan
5. Posisi leher tegak lurus
6. Pinggang dalam keadaan lurus
7. Posisi punggung tegak lurus
8. Tidak berdiri dengan satu kaki dalam waktu yang lama dan posisi kaki tidak membentuk sudut 450 sehingga memerlukan tenaga besar pada lutut
(Applied ErgonomicsTraining Manual, 1995).

Teori (brief survey) posisi yang benar pada saat memasang infus adalah sebagai berikut :
1. Posisi telunjuk dan ibu jari pada saat memegang alat dengan rileks (santai) tidak memerlukan tenaga yang cukup keras
2. Posisi jari tidak menekan terlalu kuat
3. Posisi tangan tidak digerakkan secara menyeluruh atau lebih dari posisi normal
4. Posisi bahu tegak lurus dan tidak terlalu mencondong ke depan dalam waktu yang lama.
5. Posisi leher tegak lurus
6. Pinggang dalam keadaan lurus
7. Posisi punggung tegak lurus
8. Tidak berdiri dengan satu kaki dalam waktu yang lama dan posisi kaki tidak membentuk sudut 450 sehingga memerlukan tenaga besar pada lutut
(Applied Ergonomics Training Manual, 1995).


Sumber : Dep-Kes RI, Kuswadji-1996, Suma'mur-1992,

Bahaya Ergonomi

Gejala Akibat Masalah Ergonomi, antara lain :
1. Tangga yang terlalu curam, akibatnya adalah terpeleset (licin), terjatuh, dan lain-lain.
2. Keluhan mata lelah akibat penerangan yang kurang/silau.
3. Penyakit sehubungan dengan alat gerak

Contoh bahaya potensial faktor ergonomi di rumah sakit :
1. Mengangkut/menggotong pasien. Bahaya potensial yang ditimbulkan: cedera punggung dan leher, serta gangguan otot rangka seperti pengapuran dan peradangan.
2. Memberi makan pasien. Bahaya potensial yang ditimbulkan antara lain back pain dan kelelahan.
3. Mengangkat barang. Bahaya potensial yang ditimbulkan: cedera punggung, back pain.
Pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk. Bahaya potensial yang ditimbulkan antara lain membengkaknya otot-otot perut dan punggung melengkung.


Sumber : Laksmiarti, 2002

Sikap Tubuh dalam Bekerja

Sikap tubuh dalam bekerja yang dikatakan secara ergonomi adalah memberikan rasa nyaman, aman, sehat dan selamat dalam bekerja yang dapat dilakukan antara lain dengan cara ( Ramadhani, 2003) :
1. Menghindari sikap yang tidak alamiah dalam bekerja
2. Diusahakan beban statis menjadi lebih kecil
3. Perlu dibuat dan ditentukan kriteria dan ukuran baku tentang peralatan kerja yang sesuai dengan ukuran antropometri tenaga kerja penggunanya
4. Agar diupayakan bekerja dengan sikap duduk dan berdiri secara bergantian

Posisi kerja terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dimana posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.

Sikap tubuh Abduksi dan forward flexion (kepala turun maju kedepan) lebih dari 300 dapat mengakibatkan faktor risiko oleh karena adanya penekanan pada otot supraspinatus sehingga terjadi gangguan aliran darah. Sakit tengkuk/leher ditemui pada pekerja yang dituntut bekerja dengan sikap kerja tersebut dalam waktu lama. Umumnya terjadi pada industri perakitan, bekerja dengan Visual Display Terminal (VDT), membungkuk, mengepak.

Sikap kerja yang baik dengan duduk yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap tubuh dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit kifosa pada punggung dimana otot otot punggung menjadi terasa enak. Sikap duduk yang baik adalah :
1. Tidak menghalangi pernafasan.
2. Tidak menghambat sistem peredaran darah
3. Tidak menghalangi gerak otot atau menghalangi fungsi organ-organ dalam tubuh.

Dalam bekerja dengan duduk perlu beberapa persyaratan, yaitu :
1. Pekerja dapat merasa nyaman selama melaksanakan pekerjaannya.
2. Tidak menimbulkan gangguan psikologis
3. Dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan memuaskan.

Sumber : Departemen Kesehatan RI

Faktor Manusia dalam Ergonomi

Penataan dalam suatu sistem kerja menurut faktor manusia sebagai pelaku/pengguna menjadi titik sentralnya. Sebagai titik sentral maka unsur keterbatasan manusia haruslah menjadi patokan suatu produk yang ergonomis (Ramadhani, 2003).

Perlunya menyerasikan manusia, pekerjaan dan lingkungan kerja karena adanya variasi pada kemampuan masing-masing orang sehingga jika tidak dihiraukan akan sangat merugikan tidak hanya dari segi keuangan, tapi juga dari segi ketidaknyamanan dan penampilan kerja.
Ada 3 faktor dasar pada diri manusia yang perlu di perhitungkan, yaitu :
1. Setiap manusia adalah berbeda
Manusia berbeda dalam hal bentuk dan ukuran tubuh, misalnya tinggi badan, panjang tangan, tinggi bahu. Perbedaan ini mengakibatkan beberapa orang yang memiliki perbedaan dalam hal bentuk dan ukuran tubuh tidak mampu bekerja dengan baik.
2. Manusia memiliki keterbatasan
Tubuh manusia diciptakan dengan beberapa kelemahan. Lengan manusia tidak memiliki jangkauan yang terlalu panjang meski setinggi apapun manusia itu. Manusia tidak bisa bertahan terlalu lama dengan sikap kerja yang sama tanpa merasakan ketidaknyamanan.
3. Manusia memiliki reaksi yang tidak bisa diperkirakan
Manusia memiliki reaksi terhadap kondisi di tempat kerja. Dengan pemahaman reaksi manusia tersebut perlu pengaturan pada pekerjaan dan lingkungan kerja karena pekerja bisa mengalami stres dan bosan dalam menghadapi pekerjaan.